www.iaincirebon.ac.id
AMTSAL AL-QUR’AN
Diajukan
Sebagai Ujian
Akhir Semester
1
Dengan Mengangkat
Tema yang Berhubungan
Dengan Pendidikan
Agama Islam
Tugas Mata kuliah Bahasa Indonesia
Dosen pengampu: Indrya Mulyaningsih,
M.Pd.
I’MAL NUROL AULIA
NIM: 14121110064
PAI C/Semester I (satu)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci yang sempurna yang
mengandung semua hal dalam kehidupan manusia, baik kehidupan dunia yang berupa
tuntunan ibadah, pergaulan dalam keluarga dan masyarakat, cerita-cerita umat
terdahulu, maupun kehidupah akhirat berupa hari kiamat, surga, neraka dan
lainnya. Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menceritakan hal-hal
yang samar dan abstrak. Manusia tidak mampu mencernanya jika hanya mengandalkan
akalnya saja. Sehingga sering kali ayat-ayat tersebut diperumpamakan dengan
hal-hal yang konkret agar manusia mampu memahaminya.
Untuk memahami itu semua maka ulama’ tafsir menggangap perlu adanya
ilmu yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam Al-Qur’an agar manusia mampu
mengambil pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Karena itulah
penulis mencoba menjelaskan tentang ilmu tersebut, yaitu Ilmu Amtsal
Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Latar
belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Amtsal Al-Qur’an?
2. Apa sajakah jenis Amtsal dalam
Al-Qur’an?
3. Apa faedah dan tujuan Amtsal Al-Qur’an?
C. Tujuan
Dari
pembuatan makalah ini bertujuan sebagai berikut, yakni:
1. Untuk mengetahui Amtsal Al-Qur’an.
2. Mengetahui jenis-jenis Amtsal dalam
Al-Qur’an.
3. Mengetahui faedah dan tujuan Amtsal
Al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Amtsal
Al-Qur’an
1. Teori
A. Definisi Amtsal Al-Qur’an
Menurut
supiana dan karman (2002: 253), kata Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal.
Adalah kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah,
syibh, dan syabih, baik lafazh maupun maknanya. Amtsal dalam
sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang
sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Contohnya, “rubba
ramiyah min ghairi ramin”, maksudnya berapa banyak musibah diakibatkan oleh
kesalahan pemanah. Orang yang pertama mengatakan seperti ini adalah Hakam bin
Yaghust Al-Naqri, membuat perumpamaan orang yang salah dengan musibah walaupun
kadang-kadang benar.
Amtsal
juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang menakjubkan.
Dengan makna inilah lafazh Amtsal ditafsirkan dalam banyak ayat.
Seperti,
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا
أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ
طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ
مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ
كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ
أَمْعَاءَهُمْ
“perumpamaan
surga yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah: ada padanya
beberapa sungai dari air yang tidak berubah (rasa dan baunya), dan beberapa
sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, serta beberapa sungai dari arak
yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan juga beberapa sungai dari madu
yang suci bersih. Dan ada pula untuk mereka di sana segala jenis buah-buahan,
serta keredaan dari Tuhan mereka...” (QS. Muhammad:
15).
Ada
juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam
menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan
keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau
metafor. Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992 : 400), dalam masalah Amtsal
dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang
indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya
kemiripan. Al-Qur’an secara terminologi menurut Drs. Anwar Rosihin, M.Ag beliau
berkata bahwasannya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan
perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan
Al-Qur’an (2008: 28).
Menurut
Syahidin (2009 : 78), di dalam Al-Qur’an ditemukan 165 tempat yang memakai kata
amtsal (permisalan / perumpamaan) sebagai adat tasybih (alat untuk
mengumpamakan) dan masih banyak adat tasybih lain yang menunjukan perumpamaan.
Ash-shidieqy
(1972: 174) didalam Al-Qur’an sendiri, kata amtsal dipergunakan dalam beberapa
pengertian, sebagai berikut.
a. matsal diartikan dengan “perkataan atau
informasi mengenai dirinya sendiri”
b. matsal berarti “contoh atau tauladan”
c. matsal berarti “penerangan”
d. matsal berarti “tanda atau bukti”
e. matsal berarti “keadaan, kisah dan sifat
yang menarik perhatian serta menakjubkan”, dan
f. matsal berarti “perbandingan”
Lebih
lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar
berupa penggunaan tasybih sharih, seperti:
“sesungguhnya
perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang kami
turunkan dari langit.” (QS. Yunus: 24).
Sebagian
lagi berupa penggunaan tasybih dhimmi (penyerupaan secara tidak
langsung), mislanya:
“...Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain sukakah salah seorang
dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujurat: 12).
Dikatakan dhimmi karena
dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sharih. Dan ada pula yang tidak
mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
“Wahai manusia,
telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73).
Firman-Nya, “Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalat pun” oleh Allah disebut dengan Amtsal padahal didalamnya tidak
terdapat isti’arah maupun tasybih.
Berkaitan
dengan amtsal dalam Al-Qur’an kuntowijoyo, memandang bahwa “pada dasarnya
kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian”(1991: 327-329). Bagian pertama
berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal.
Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai sejarah islam, sedangkan
bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan perenungan untuk memperoleh hikmah.
Kisah kesabaran Nabi Ayyub misalnya menggambarkan tipe sempurna tentang betapa
gigihnya kesabaran orang yang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah
kezaliman Fir’aun menggambarkan mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal
yang pernah dikenal manusia. Adapun kisah Tsamud yang membunuh unta milik Nabi
Saleh lebih menggambarkan mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi
kafir.
B. Jenis Amtsal dalam Al-Qur’an
Amtsal
di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan
amtsal mursalah.
1) Amtsal musharrahah,
maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang menunjukkan
tasybih (penyerupaan). Amtsal ini seperti banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, dan
berikut ini beberapa diantaranya:
a. Tentang orang munafik
“perumpamaan (matsal)
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan
buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh
dan kilat...sampai dengan- Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Baqarah: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua
perumpamaan (matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api (nar)
dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyalakan api..,” karena di dalam
api terdapat unsur cahaya. Matsal yang lain adalah berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang yang ditimpa)
hujan lebat dari langit...,” karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan
wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan
menghidupkannya. Allah juga menyebutkan kondisi orang munafik dalam dua
keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk
penerangan dan kemanfaatan. Dalam hal ini mereka memperoleh kemanfaatan materi
dengan sebab masuk islam. Namun keislaman mereka tidak memberikan pengaruh
terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api
itu,”Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka.” Kemudian membiarkan
unsur api “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan
dengan api.
Adapun dalam matsal air (ma’i), Allah
menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang disertai
gelap gulita, guruh, dan kilat, kekuatannya terkuras habis. Lalu ia menyumbat
telinga dengan jari jemarinya, sambil memejamkan mata karena takut petir
menimpanya. Gambaran ini laksana Al-Qur’an dengan segala peringatan, perintah,
larangan dan khithabnya bagi mereka seperti petir yang turun menyambar.
b.
Allah
juga menyebutkan dua macam matsal air (ma’i) dan api (nar), dalam surat
ar-Ra’d, untuk menggambarkan yang hak dan yang batil,
“Allah
telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
dilembah-lembah
menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu
yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS.
Ar-Ra’d: 17).
Wahyu
yang diturunkan Allah dari langit untik menghidupkan hati diserupakan dengan
air hujan yang diturunkannya untuk menghidupkan bumi dan tumbuh-tumbuhan. Hati
diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir dilembah akan menghanyutkan
buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan
berpengaruh terhadapa nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah matsal
ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit...”
Demikianlah Allah membuat matsal bagi yang hak dan yang batil.
Mengenai
matsal nari, dikemukakan dalam firman-Nya: Dan dari apa (logam) yang mereka
lebur dalam api....” Logam, bail emas, perak, tembaga, maupun besi, ketika
dituangkan kedalam api, maka api akan menghilangkan kotoran dan karat yang
melekat padanya, memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga
karat itu hilang dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan
dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air
menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2) Amtsal kaminah,
yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil,
tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat
padat, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa
dengannya. Contohnya:
(a)
Ayat-ayat yang senada dengan suatu ungkapan
“sebaik-baik perkara adalah yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang.” Yaitu:
a.
Firman
Allah tentang sapi betina: “Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda;
pertengahan di antara itu.....” (QS. Al-Baqarah: 68).
b.
Firman-Nya
tentang nafkah: “Dan mereka yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka
tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu
seimbang).” (QS. Al-Furqon:67).
c.
Firman-Nya
mengenai shalat: “Dan janganlah kamu mnegeraskan suaramu dalam salammu dan
jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
(QS. Al-Isra’:110).
d.
Firman-Nya
mengenai infaq: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan jangan (pula) terlalu mengulurkannya.”(QS. Al-Isra’:29).
(b)
Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang yang mendengar itu
tidak sama dengan yang menyaksikannya sendiri.” Misalnya firman Allah
tentang Ibrahim: Allah berfirman, “apakah kamu belum percaya?” Ibrahim
menjawab, “saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.”
(QS. Al-Baqarah: 260).
(c)
Ayat yang senada dengan ungkapan, “seperti yang kamu telah lakukan,
maka seperti itu kamu akan di balas.” Misalnya, “Barang siapa mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS.
An-Nisa’: 123).
(d)
Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang mukmin tidak akan masuk
dua kali lubang yang sama.” Misalnya firman melalui lisan Ya’kub: “Bagaimana
aku mempercayakannya (bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu.” (QS. Yunus: 12:64).
3) Amtsal mursalah,
yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasybih secara jelas.
Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal, seperti:
1.
“Sekarang
ini jelaslah kebenaran itu.” (QS. Yusuf :51).
2.
“tidak
ada yang akan bisa menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (QS. An-Najm:
58).
3.
“Telah
diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” (QS.
Yusuf: 41).
4.
“Bukankah
subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81).
5.
“Tiap-tiap
khabar berita mempunyai masa yang menentukannya (yang membuktikan benarnya atau
dustanya), dan kamu akan mengetahuinya.” (QS. Al-An’am: 67).
6.
“Dan
rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencankannya
sendiri.” (QS. Fathir: 43).
7.
“Katakanlah:
‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’” (QS. Al-Isra’:84).
8.
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 216).
9.
“Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS. Al-Mudastsir:
38).
10.
“Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan (pula)?” (QS. Ar-Rahman: 60).
11.
“Amatlah lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang
disembah.” (QS.
Al-Mukminun: 53).
12.
“Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang
bekerja.” (QS.
Ash-Shaffat: 61).
13.
“Tidak sama yang buruk dengan yaang baik.” (QS. Al-Maidah: 100).
14.
“Betapa yang terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan idzin Allah.” (QS. Al-Baqarah: 246).
15.
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS. Al-Hasyr: 14).
Para ulama berbeda pendapat tentang
ayat-ayat yang mereka namakan Amtsal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum
mempergunakannya sebagai matsal?
Sebagaimana ahli ilmu memandang bahwa
hal seperti keluar dari adab Al-Qur’an. Ar-Razi mengatakan kita menafsirkan
ayat,
“Untukmulah agamamu, dan untukku lah
agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
“Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan
ayat ini sebagai matsal ketika mereka saling meninggalkan satu sama lain
(karena berselisih), padahal ini tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan
Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian
diamalkan isi kandungannya.” Demikian Ar-Razi.
Ulama lain berpendapat, bahwa tak ada
halangan bila seseorang mempergunakan Al-Qur’an sebagai matsal, jika itu
serius, tidak untuk main-main. Misalnya, ia sangat merasa besrsedih dan berduka
karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah
terputus dari manusia, lalu ia mengatakan,
“Tidak ada yang menyingkapnya selain
dari Allah.” (QS. An-Najm: 58).
Atau ia diajak bicara oleh penganut
ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti itu, maka ia menjawab,
“Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Tetapi berdosa besarlah seseorang yang
dengan sengaja menampakkan kehebatannya lalu ia menggunakan Al-Qur’an sebagai
matsal, meskipun saat bercanda dan bersenda gurau.
C. Faedah-faedah Amtsal
Baidan (2005: 259), Amtsal memberikan
konstribusi yang cukup besar dalam daya pikir bagi umat islam dalam memahami
pemahaman terhadap Al-Qur’an. Manna’ Al-Qaththan mengemukakan dalam kitabnya
Mahabits fi ulumil Qur’an sebagai berikut.
a.
Menampilkan
sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra
manusia, sehingga akal mudah menerimanya.
b.
Mengungkapkan
hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
c.
Menghimpun
makna yang menarik dan indah dalam satu ungkapan yang padat, seperti Amtsal
kaminah dan Amtsak mursalah dalam ayat-ayat diatas.
d.
Mendorong
orang yang diberi Matsal untuk berbuat sesuai dengan isi Matsal, jika ia
merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat Matsal bagi
keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, dimana hal itu akan
memberikan kepadanya kebaikan yang banyak.
e.
Menjauhkan
dan menghindarkan, jika isi matsal berupa sesuatu yang di benci jiwa. Misalnya
tentang larangan menggunjing.
f.
Untuk
memuji orang diberi matsal.
g.
Untuk
menggambarkan sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang
banyak. Misalnya matsal tentang keadaan orang yang dikaruniai kitabullah tetapi
ia tersesat jalan hingga tidak mengamal-kannya.
h.
Amtsal
lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif
dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih
dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebutkan Amtsal dalam Al-Qur’an untuk
peringatan dan pelajaran.
i.
Menurut Anwar menyatakan bahwa pesan yang disampaikan melalui amtsal
lebih mengenai hati, lebih mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan
serta lebih kuat pengaruhnya (2001: 109).
D. Tujuan Amtsal Al-Qur’an
Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan
dari amtsal Al-Qur’an. Namun
apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan
bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya pelajaran dan
bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai teladan sedangkan
perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Az-Zumar
ayat 27. Mengenai kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah SAW
bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ
حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا
بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا
بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
(Sesungguhnya
al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih
dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah
muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya).
Dari dalil
al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal
al-Qur’an adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia
terbimbing menuju jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun
akhirat. Menurut izzan (2007: 240) ada beberapa ciri-ciri Amtsal khusus dan
terperinci yaitu.
a.
mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak
sehingga menjadi jelas, konkret dan berkesan.
b.
amtsal memiliki kesejajaran antara situasi perumpamaan yang
dimaksud dan padanya.
c.
adanya keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan dan
keadaan yang dianalogikan.
B. Analisis
Jenis-jenis
Amtsal di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal
kaminah, dan amtsal mursalah.
1. Amtsal Musharrahah
Yaitu amtsal yang jelas, yakni yang jelas menggunakan
kata-kata perumpamaan atau kata menunjukkan penyerupaan.
Contohnya : Surat Ar-Ra’d ayat 17
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka
mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih
yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah
Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat
kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.
Allah
mengumpamakan yang benar dan yang bathil dengan air dan buih atau dengan logam
yang mencair dan buihnya. yang benar sama dengan air atau logam murni yang
bathil sama dengan buih air atau tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada
gunanya bagi manusia.
Dalam
tafsir Al-Misbahnya
Quraish shihab (2002: 548), menjelaskan surat
Ar-Ra’d ayat 17 ini, Allah
memberikan perumpamaan tentang yang haq dan yang
batil. Adapun buih itu, maka ia akan pergi hilang tanpa bekas, binasa, dan
tanpa manfaat dan harga, adapun yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap di
bumi untuk dimanfaatkan oleh makhluk-makhluk ilahi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.
Ayat
ini menjelaskan bahwa air yang diturunkan oleh Allah di lembah itu sesuai
dengan daya tampung lembah, atau dalam istilah ayat di atas biqadariha, karena
kalau melebihinya maka akan terjadi banjir yang berpotensi merusak. Memang
sesekali bisa saja air yang tercurah (hujan) sangat lebat sehingga menimbulkan
banjir, tetapi karena ayat ini bermaksud memberi perumpamaan tentang yang
haq/kebenaran, maka digaris bawahinya kata biqadariha itu. Disamping
itu, karena pada umumnya lembah menampung air sesuatu dengan kadar/kapasitas
daya tampungnya.
2. Amtsal Kaminah
Amtsal yang tersembunyi (kaminah).
Ialah yang tidak ditegaskan padanya lafadz tamsil. Tetapi dia menunjuk kepada
beberapa makna yang indah yang mempunyai tekanan apabila ia dipindahkan kepada
yang menyerupainya.
Contoh firman Allah Surat Al-Furqon ayat 67.
“dan orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Dalam
tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab
(2002:
533), menyatakan kata
yusrifu terambil dari kata sarf yaitu melampaui batas kewajaran
sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberi nafkah. Walaupun anda kaya
raya, anda tercela jika memberi anak kecil melebihi kebutuhannya, namun anda
tercela jika memberi seseorang dewasa yang butuh lagi dapat bekerja, sebanyak
pemberian anda kepada sang anak itu.
Ayat
ini mengisyaratkan bahwa hamba-hamba Allah itu memiliki harta benda sehingga
mereka bernafkah, dan bahwa harta itu mencukupi kebutuhan mereka sehingga
mereka dapat menyisihkan sedikit atau banyak dari harta tersebut. Ini mengandung
juga isyarat bahwa mereka sukses dalam usaha mereka meraih kebutuhan hidup,
bukanya orang-orang yang mengandalkan bantuan orang lain. Ini akan semakin
jelas jika kita spendapat dengan ulama yang menegaskan bahwa nafkah yang
dimaksud disini adalah nafkah sunnah, bukan nafkah wajib. Dengan alasan, bahwa
berlebihan dalam nafkah wajib tidaklah terlarang atau tercela, sebagaimana
sebaliknya, yakni walau sedikit sekali dan pengeluaran harta yang bersifat
haram adalah tercela.
Kata
qawiman berarti adil, moderat dan pertengahan. Melalui anjuran ini,
Allah SWT, dan Rasul SAW, mengantar manusia untuk dapat memelihara hartanya, tidak
memboroskan sehingga habis, tetapi dalam saat yang sama tidak menahannya sama
sekali sehingga mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga, atau siapa yang
butuh. Memelihara suatu yang baik termasuk harta sehingga selalu tersedia dan
berkelanjutan, merupakan perintah agama. Moderasi dan sikap pertengahan yang
dimaksud ini, adalah dalam kondisi normal dan umum. Tetapi bila situasi
menghendaki penafkahan seluruh harta, maka moderasi dimaksud tidak berlaku.
Sayyidina Abu bakar ra, menafkahkan seluruh hartanya dan Sayyidina ‘Utsman ra,
menafkahkan setengah dari milikny, pada saat mobilisasi umum dalam rangka
persiapan perang. Ini karena berijtihad menuntut pengerahan semua kemampuan,
hingga tujuan tercapai. Dengan kata lain, moderasi itu hendaknya dilihat dari
kondisi masing-masing orang dan keluarga serta situasi yang dihadapi.
3. Amtsal mursalah
Amtsal yang
terlepas (mursalah). Ialah jumlah-jumlah yang setara terlepas tanpa ditegaskan
lafadz tasybih. Tetapi digunakan untuk tasybih.
Contoh dalam
surat Yusuf ayat 51.
raja
berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu
menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" mereka berkata:
"Maha sempurna Allah, Kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari
padanya". berkata isteri Al Aziz: "Sekarang
jelaslah kebenaran itu, Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya
(kepadaku), dan Sesungguhnya Dia Termasuk orang-orang yang benar..
Setelah utusan kembali menemui raja
dan menyampaikan permintaan Yusuf kepadanya, maka dengan segera raja memanggil
semua perempuan-perempuan yang memotong jarinya itu dan berkata:
"Bagaimana pandanganmu terhadap Yusuf ketika kamu menggodanya dulu? Sebab
Yusuf akan aku keluarkan dari penjara." Mereka menjawab: "Bahwa Yusuf
seorang pemuda yang suci murni, Maha Sempurna Allah, kami tiada melihat sesuatu
yang buruk padanya." Berkatalah pula istri Perdana Menteri yang
tergila-gila dan terus menggoda Yusuf selama bersama-sama tinggal di rumahnya:
"Memang sudah terlalu lama Yusuf dalam penjara tanpa kesalahan apa-apa.
Sayalah yang bersalah karena aku tidak dapat menahan hawa nafsuku, aku selalu
menggodanya. Sekarang jelaslah kebenaran itu, bahwa Yusuf tidak bersalah dan
dia termasuk orang-orang yang benar.
Penjelasan kalimat "Sekarang jelaslah kebenaran itu,
bisa digunakan sebagai amtsal dengan maksud dan tujuan yang baik. Seperti menghimpun arti yang indah dalam ungkapan yang singkat untuk disampaikan kepada seseorang. Nasihat yang
melalui amtsal lebih mengena di hati dan
lebih kuat pengaruhnya.
Selain itu
amtsal mursalah Yaitu kalimat-kalimat al-Qur'an yang disebut secara lepas tanpa
ditegaskan redaksi penyerupaan, tetapi dapat digunakan untuk penyerupaan.
Tetapi khusus mengenai amtsal mursalah, para ulama berbeda pendapat dalam
menganggapinya.
a. Sebagian
ulama menganggap amtsal mursalah telah keluar dari etika al-Qur'an. Menurut
Ar-Razi ada sebagaian orang-orang menjadikan ayat lakum dinukum wa liyadin
sebagai perumpamaan ketika mereka lalai dan tak mau menaati perintah Allah.
Ar-Razi lebih lanjut mengatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan sebab
Allah tidak menurunkan ayat ini untuk dijadikan perumpamaan, tetapi untuk
diteliti, direnungkan dan kemudian diamalkan.
b. Sebagian
ulama lain beranggapan bahwa mempergunakan amtsal mursalah itu boleh saja karena
amtsal, termasuk amtsal mursalah lebih berkesan dan dapat mempengaruhi jiwa
manusia. Seseorang boleh saja menggunakan amtsal dalam suasana tertentu.
Contoh : QS Hudd ayat 81 :
“Bukankah subuh itu sudah dekat”
Ayat ini juga sebagai perumpamaan
waktu yang udah dekat. Kitab yang khusus membahas Amtsalul Qur’an diantaranya
Amtsal Al-Qur’an karangan Ibnu Qayyim Jauziah.
PENUTUP
A. Simpulan
Amtsal
dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan
dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu
dengan aslinya. Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang
paling jelas dalam menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya
tarik dan keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber
atau metafor. Ibnu Qayyim dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an
menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang
lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah
satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan.
Amtsal
di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan
amtsal mursalah.
Amtsal
musharrahah, maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal atau
sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal kaminah, yaitu yang
didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil, tetapi ia menunjukan
makna-makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat, dan mempunyai
pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Amtsal
mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasybih
secara jelas.
Faedah-faedah Amtsal: Menampilkan sesuatu yang
ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia,
sehingga akal mudah menerimanya. Mengungkapkan hakikat-hakikat sesuatu yang
tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Menghimpun makna yang menarik dan
indah dalam satu ungkapan yang padat.
Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan
dari amtsal Al-Qur’an. Namun
apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan
bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya pelajaran dan
bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai teladan sedangkan
perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari.
DAFTAR
PUSTAKA
Manna’ Al-Qaththan. 2005. pengantar
studi Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Kautsar.
Nasrudin Baidan, Wawasan
ilmu baru tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, (Cetakan ke 1,
hlm. 259).
Anwar, Rosihin. 2008.
Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Hasby Ash-Shidieqy.
1972. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Syahidin. 2009. Menelusuri
metode dalam Al-Qur’an. Bandung: CV.Alfabeta.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma islam : interpretasi untuk aksi. Bandung:
Mizan.
Supiana dan Karman.
2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Isalamika.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir
Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Izzan, Ahmad. 2007.
Ulumul Qur’an. Bandung: Tafakur.
Anwar,
Rosihin. 2001. Samudera Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.