Senin, 10 Desember 2012

Amtsal Al-Qur'an

www.iaincirebon.ac.id
AMTSAL AL-QUR’AN
Diajukan Sebagai Ujian Akhir Semester 1
Dengan Mengangkat Tema yang Berhubungan Dengan Pendidikan Agama Islam
Tugas Mata kuliah Bahasa Indonesia
Dosen pengampu: Indrya Mulyaningsih, M.Pd.




I’MAL NUROL AULIA
NIM: 14121110064
PAI C/Semester I (satu)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci yang sempurna yang mengandung semua hal dalam kehidupan manusia, baik kehidupan dunia yang berupa tuntunan ibadah, pergaulan dalam keluarga dan masyarakat, cerita-cerita umat terdahulu, maupun kehidupah akhirat berupa hari kiamat, surga, neraka dan lainnya. Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menceritakan hal-hal yang samar dan abstrak. Manusia tidak mampu mencernanya jika hanya mengandalkan akalnya saja. Sehingga sering kali ayat-ayat tersebut diperumpamakan dengan hal-hal yang konkret agar manusia mampu memahaminya.
Untuk memahami itu semua maka ulama’ tafsir menggangap perlu adanya ilmu yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam Al-Qur’an agar manusia mampu mengambil pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Karena itulah penulis mencoba menjelaskan tentang ilmu tersebut, yaitu Ilmu Amtsal Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
Latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Amtsal Al-Qur’an?
2.      Apa sajakah jenis Amtsal dalam Al-Qur’an?
3.      Apa faedah dan tujuan Amtsal Al-Qur’an?
C.     Tujuan
Dari pembuatan makalah ini bertujuan sebagai berikut, yakni:
1.      Untuk mengetahui Amtsal Al-Qur’an.
2.      Mengetahui jenis-jenis Amtsal dalam Al-Qur’an.
3.      Mengetahui faedah dan tujuan Amtsal Al-Qur’an.


PEMBAHASAN
Amtsal Al-Qur’an
1. Teori
A.    Definisi Amtsal Al-Qur’an
Menurut supiana dan karman (2002: 253), kata Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Adalah kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah, syibh, dan syabih, baik lafazh maupun maknanya. Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Contohnya, “rubba ramiyah min ghairi ramin”, maksudnya berapa banyak musibah diakibatkan oleh kesalahan pemanah. Orang yang pertama mengatakan seperti ini adalah Hakam bin Yaghust Al-Naqri, membuat perumpamaan orang yang salah dengan musibah walaupun kadang-kadang benar.
Amtsal juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang menakjubkan. Dengan makna inilah lafazh Amtsal ditafsirkan dalam banyak ayat. Seperti,

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ                                                                                                               
“perumpamaan surga yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah: ada padanya beberapa sungai dari air yang tidak berubah (rasa dan baunya), dan beberapa sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, serta beberapa sungai dari arak yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan juga beberapa sungai dari madu yang suci bersih. Dan ada pula untuk mereka di sana segala jenis buah-buahan, serta keredaan dari Tuhan mereka...” (QS. Muhammad: 15).
Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor. Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992 : 400), dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan. Al-Qur’an secara terminologi menurut Drs. Anwar Rosihin, M.Ag beliau berkata bahwasannya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan Al-Qur’an (2008: 28).
Menurut Syahidin (2009 : 78), di dalam Al-Qur’an ditemukan 165 tempat yang memakai kata amtsal (permisalan / perumpamaan) sebagai adat tasybih (alat untuk mengumpamakan) dan masih banyak adat tasybih lain yang menunjukan perumpamaan.
Ash-shidieqy (1972: 174) didalam Al-Qur’an sendiri, kata amtsal dipergunakan dalam beberapa pengertian, sebagai berikut.
a.       matsal diartikan dengan “perkataan atau informasi mengenai dirinya sendiri”
b.      matsal berarti “contoh atau tauladan”
c.       matsal berarti “penerangan”
d.      matsal berarti “tanda atau bukti”
e.       matsal berarti “keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian serta menakjubkan”, dan
f.       matsal berarti “perbandingan”
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sharih, seperti:
“sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit.” (QS. Yunus: 24).
Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dhimmi (penyerupaan secara tidak langsung), mislanya:
“...Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujurat: 12).
Dikatakan dhimmi karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sharih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
“Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73).
Firman-Nya, “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan Amtsal padahal didalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.
Berkaitan dengan amtsal dalam Al-Qur’an kuntowijoyo, memandang bahwa “pada dasarnya kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian”(1991: 327-329). Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang komprehensif  mengenai nilai-nilai sejarah islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayyub misalnya menggambarkan tipe sempurna tentang betapa gigihnya kesabaran orang yang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Adapun kisah Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Saleh lebih menggambarkan mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
B.     Jenis Amtsal dalam Al-Qur’an
Amtsal di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
1)      Amtsal musharrahah, maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal ini seperti banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, dan berikut ini beberapa diantaranya:
a.       Tentang orang munafik
“perumpamaan (matsal) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat...sampai dengan- Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api (nar) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyalakan api..,” karena di dalam api terdapat unsur cahaya. Matsal yang lain adalah berkenaan dengan air  (ma’i), “atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit...,” karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah juga menyebutkan kondisi orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan. Dalam hal ini mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk islam. Namun keislaman mereka tidak memberikan pengaruh terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu,”Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka.” Kemudian membiarkan unsur api “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Adapun dalam matsal air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh, dan kilat, kekuatannya terkuras habis. Lalu ia menyumbat telinga dengan jari jemarinya, sambil memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Gambaran ini laksana Al-Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khithabnya bagi mereka seperti petir yang turun menyambar.
b.      Allah juga menyebutkan dua macam matsal air (ma’i) dan api (nar), dalam surat ar-Ra’d, untuk menggambarkan yang hak dan yang batil,
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
dilembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar-Ra’d: 17).  
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untik menghidupkan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkannya untuk menghidupkan bumi dan tumbuh-tumbuhan. Hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir dilembah akan menghanyutkan buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadapa nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah matsal ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit...” Demikianlah Allah membuat matsal bagi yang hak dan yang batil.
Mengenai matsal nari, dikemukakan dalam firman-Nya: Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api....” Logam, bail emas, perak, tembaga, maupun besi, ketika dituangkan kedalam api, maka api akan menghilangkan kotoran dan karat yang melekat padanya, memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga karat itu hilang dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2)      Amtsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil, tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Contohnya:
(a)     Ayat-ayat yang senada dengan suatu ungkapan “sebaik-baik perkara adalah yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang.” Yaitu:
a.       Firman Allah tentang sapi betina: “Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu.....” (QS. Al-Baqarah: 68).
b.      Firman-Nya tentang nafkah: “Dan mereka yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu seimbang).” (QS. Al-Furqon:67).
c.       Firman-Nya mengenai shalat: “Dan janganlah kamu mnegeraskan suaramu dalam salammu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’:110).
d.      Firman-Nya mengenai infaq: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) terlalu mengulurkannya.”(QS. Al-Isra’:29).
(b)   Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang yang mendengar itu tidak sama dengan yang menyaksikannya sendiri.” Misalnya firman Allah tentang Ibrahim: Allah berfirman, “apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” (QS. Al-Baqarah: 260).
(c)    Ayat yang senada dengan ungkapan, “seperti yang kamu telah lakukan, maka seperti itu kamu akan di balas.” Misalnya, “Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’: 123).
(d)   Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang mukmin tidak akan masuk dua kali lubang yang sama.” Misalnya firman melalui lisan Ya’kub: “Bagaimana aku mempercayakannya (bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu.” (QS. Yunus: 12:64).
3)      Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal, seperti:
1.      Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (QS. Yusuf :51).
2.      tidak ada yang akan bisa menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (QS. An-Najm: 58).
3.      “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” (QS. Yusuf: 41).
4.      Bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81).
5.      Tiap-tiap khabar berita mempunyai masa yang menentukannya (yang membuktikan benarnya atau dustanya), dan kamu akan mengetahuinya.” (QS. Al-An’am: 67).
6.      Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencankannya sendiri.” (QS. Fathir: 43).
7.      Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’” (QS. Al-Isra’:84).
8.      Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.”
 (QS. Al-Baqarah: 216).
9.      Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS. Al-Mudastsir: 38).
10.  “Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan (pula)?” (QS. Ar-Rahman: 60).
11.  “Amatlah lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Mukminun: 53).
12.  “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (QS. Ash-Shaffat: 61).
13.  “Tidak sama yang buruk dengan yaang baik.” (QS. Al-Maidah: 100).
14.  “Betapa yang terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan idzin Allah.” (QS. Al-Baqarah: 246).
15.  “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS. Al-Hasyr: 14).
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan Amtsal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai matsal?
Sebagaimana ahli ilmu memandang bahwa hal seperti keluar dari adab Al-Qur’an. Ar-Razi mengatakan kita menafsirkan ayat,
Untukmulah agamamu, dan untukku lah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
“Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai matsal ketika mereka saling meninggalkan satu sama lain (karena berselisih), padahal ini tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.” Demikian Ar-Razi.
Ulama lain berpendapat, bahwa tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Al-Qur’an sebagai matsal, jika itu serius, tidak untuk main-main. Misalnya, ia sangat merasa besrsedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan,
Tidak ada yang menyingkapnya selain dari Allah.” (QS. An-Najm: 58).
Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti itu, maka ia menjawab,
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Tetapi berdosa besarlah seseorang yang dengan sengaja menampakkan kehebatannya lalu ia menggunakan Al-Qur’an sebagai matsal, meskipun saat bercanda dan bersenda gurau.
C.    Faedah-faedah Amtsal
Baidan (2005: 259), Amtsal memberikan konstribusi yang cukup besar dalam daya pikir bagi umat islam dalam memahami pemahaman terhadap Al-Qur’an. Manna’ Al-Qaththan mengemukakan dalam kitabnya Mahabits fi ulumil Qur’an sebagai berikut.
a.       Menampilkan sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya.
b.      Mengungkapkan hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
c.       Menghimpun makna yang menarik dan indah dalam satu ungkapan yang padat, seperti Amtsal kaminah dan Amtsak mursalah dalam ayat-ayat diatas.
d.      Mendorong orang yang diberi Matsal untuk berbuat sesuai dengan isi Matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat Matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak.
e.       Menjauhkan dan menghindarkan, jika isi matsal berupa sesuatu yang di benci jiwa. Misalnya tentang larangan menggunjing.
f.       Untuk memuji orang diberi matsal.
g.      Untuk menggambarkan sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya matsal tentang keadaan orang yang dikaruniai kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamal-kannya.
h.      Amtsal lebih berbekas dalam  jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebutkan Amtsal dalam Al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran.
i.        Menurut Anwar menyatakan bahwa pesan yang disampaikan melalui amtsal lebih mengenai hati, lebih mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan serta lebih kuat pengaruhnya (2001: 109).
D.    Tujuan Amtsal Al-Qur’an
Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari  amtsal Al-Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat  amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari. Hal ini sebagaimana  yang difirmankan Allah dalam surat Az-Zumar ayat 27. Mengenai kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
(Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya).
Dari dalil al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal al-Qur’an adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia terbimbing menuju jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat. Menurut izzan (2007: 240) ada beberapa ciri-ciri Amtsal khusus dan terperinci yaitu.
a.       mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret dan berkesan.
b.      amtsal memiliki kesejajaran antara situasi perumpamaan yang dimaksud dan padanya.
c.       adanya keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan dan keadaan yang dianalogikan.
B. Analisis
Jenis-jenis Amtsal di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
1.      Amtsal Musharrahah
            Yaitu amtsal yang jelas, yakni yang jelas menggunakan kata-kata perumpamaan atau kata menunjukkan penyerupaan.
Contohnya : Surat Ar-Ra’d ayat 17
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
          Allah mengumpamakan yang benar dan yang bathil dengan air dan buih atau dengan logam yang mencair dan buihnya. yang benar sama dengan air atau logam murni yang bathil sama dengan buih air atau tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada gunanya bagi manusia.
Dalam tafsir Al-Misbahnya Quraish shihab (2002: 548), menjelaskan surat Ar-Ra’d ayat 17 ini, Allah memberikan perumpamaan tentang yang haq dan yang batil. Adapun buih itu, maka ia akan pergi hilang tanpa bekas, binasa, dan tanpa manfaat dan harga, adapun yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap di bumi untuk dimanfaatkan oleh makhluk-makhluk ilahi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
Ayat ini menjelaskan bahwa air yang diturunkan oleh Allah di lembah itu sesuai dengan daya tampung lembah, atau dalam istilah ayat di atas biqadariha, karena kalau melebihinya maka akan terjadi banjir yang berpotensi merusak. Memang sesekali bisa saja air yang tercurah (hujan) sangat lebat sehingga menimbulkan banjir, tetapi karena ayat ini bermaksud memberi perumpamaan tentang yang haq/kebenaran, maka digaris bawahinya kata biqadariha itu. Disamping itu, karena pada umumnya lembah menampung air sesuatu dengan kadar/kapasitas daya tampungnya.
2.      Amtsal Kaminah
Amtsal yang tersembunyi (kaminah). Ialah yang tidak ditegaskan padanya lafadz tamsil. Tetapi dia menunjuk kepada beberapa makna yang indah yang mempunyai tekanan apabila ia dipindahkan kepada yang menyerupainya.
Contoh firman Allah Surat Al-Furqon ayat 67.
  
dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab (2002: 533), menyatakan kata yusrifu terambil dari kata sarf yaitu melampaui batas kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberi nafkah. Walaupun anda kaya raya, anda tercela jika memberi anak kecil melebihi kebutuhannya, namun anda tercela jika memberi seseorang dewasa yang butuh lagi dapat bekerja, sebanyak pemberian anda kepada sang anak itu.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa hamba-hamba Allah itu memiliki harta benda sehingga mereka bernafkah, dan bahwa harta itu mencukupi kebutuhan mereka sehingga mereka dapat menyisihkan sedikit atau banyak dari harta tersebut. Ini mengandung juga isyarat bahwa mereka sukses dalam usaha mereka meraih kebutuhan hidup, bukanya orang-orang yang mengandalkan bantuan orang lain. Ini akan semakin jelas jika kita spendapat dengan ulama yang menegaskan bahwa nafkah yang dimaksud disini adalah nafkah sunnah, bukan nafkah wajib. Dengan alasan, bahwa berlebihan dalam nafkah wajib tidaklah terlarang atau tercela, sebagaimana sebaliknya, yakni walau sedikit sekali dan pengeluaran harta yang bersifat haram adalah tercela.
Kata qawiman berarti adil, moderat dan pertengahan. Melalui anjuran ini, Allah SWT, dan Rasul SAW, mengantar manusia untuk dapat memelihara hartanya, tidak memboroskan sehingga habis, tetapi dalam saat yang sama tidak menahannya sama sekali sehingga mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga, atau siapa yang butuh. Memelihara suatu yang baik termasuk harta sehingga selalu tersedia dan berkelanjutan, merupakan perintah agama. Moderasi dan sikap pertengahan yang dimaksud ini, adalah dalam kondisi normal dan umum. Tetapi bila situasi menghendaki penafkahan seluruh harta, maka moderasi dimaksud tidak berlaku. Sayyidina Abu bakar ra, menafkahkan seluruh hartanya dan Sayyidina ‘Utsman ra, menafkahkan setengah dari milikny, pada saat mobilisasi umum dalam rangka persiapan perang. Ini karena berijtihad menuntut pengerahan semua kemampuan, hingga tujuan tercapai. Dengan kata lain, moderasi itu hendaknya dilihat dari kondisi masing-masing orang dan keluarga serta situasi yang dihadapi.
 3. Amtsal mursalah
Amtsal yang terlepas (mursalah). Ialah jumlah-jumlah yang setara terlepas tanpa ditegaskan lafadz tasybih. Tetapi digunakan untuk tasybih.
Contoh dalam surat Yusuf ayat 51. 
  
raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" mereka berkata: "Maha sempurna Allah, Kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya". berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan Sesungguhnya Dia Termasuk orang-orang yang benar..
Setelah utusan kembali menemui raja dan menyampaikan permintaan Yusuf kepadanya, maka dengan segera raja memanggil semua perempuan-perempuan yang memotong jarinya itu dan berkata: "Bagaimana pandanganmu terhadap Yusuf ketika kamu menggodanya dulu? Sebab Yusuf akan aku keluarkan dari penjara." Mereka menjawab: "Bahwa Yusuf seorang pemuda yang suci murni, Maha Sempurna Allah, kami tiada melihat sesuatu yang buruk padanya." Berkatalah pula istri Perdana Menteri yang tergila-gila dan terus menggoda Yusuf selama bersama-sama tinggal di rumahnya: "Memang sudah terlalu lama Yusuf dalam penjara tanpa kesalahan apa-apa. Sayalah yang bersalah karena aku tidak dapat menahan hawa nafsuku, aku selalu menggodanya. Sekarang jelaslah kebenaran itu, bahwa Yusuf tidak bersalah dan dia termasuk orang-orang yang benar.
Penjelasan  kalimat "Sekarang jelaslah kebenaran itu, bisa digunakan sebagai amtsal  dengan maksud dan tujuan yang baik. Seperti menghimpun arti yang indah dalam ungkapan yang singkat untuk disampaikan kepada seseorang. Nasihat yang melalui amtsal lebih mengena di hati dan lebih kuat pengaruhnya.
Selain itu amtsal mursalah Yaitu kalimat-kalimat al-Qur'an yang disebut secara lepas tanpa ditegaskan redaksi penyerupaan, tetapi dapat digunakan untuk penyerupaan. Tetapi khusus mengenai amtsal mursalah, para ulama berbeda pendapat dalam menganggapinya.
a.       Sebagian ulama menganggap amtsal mursalah telah keluar dari etika al-Qur'an. Menurut Ar-Razi ada sebagaian orang-orang menjadikan ayat lakum dinukum wa liyadin sebagai perumpamaan ketika mereka lalai dan tak mau menaati perintah Allah. Ar-Razi lebih lanjut mengatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan sebab Allah tidak menurunkan ayat ini untuk dijadikan perumpamaan, tetapi untuk diteliti, direnungkan dan kemudian diamalkan.
b.  Sebagian ulama lain beranggapan bahwa mempergunakan amtsal mursalah itu boleh saja karena amtsal, termasuk amtsal mursalah lebih berkesan dan dapat mempengaruhi jiwa manusia. Seseorang boleh saja menggunakan amtsal dalam suasana tertentu.
Contoh : QS Hudd ayat 81 :

    Bukankah subuh itu sudah dekat
Ayat ini juga sebagai perumpamaan waktu yang udah dekat. Kitab yang khusus membahas Amtsalul Qur’an diantaranya Amtsal Al-Qur’an karangan Ibnu Qayyim Jauziah.


PENUTUP
A.    Simpulan
Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor. Ibnu Qayyim dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan.
Amtsal di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan amtsal mursalah.
Amtsal musharrahah, maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil, tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasybih secara jelas.
 Faedah-faedah Amtsal: Menampilkan sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya. Mengungkapkan hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Menghimpun makna yang menarik dan indah dalam satu ungkapan yang padat. Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari  amtsal Al-Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat  amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Manna’ Al-Qaththan. 2005. pengantar studi Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Kautsar.
Nasrudin Baidan, Wawasan ilmu baru tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, (Cetakan ke 1, hlm. 259).
Anwar, Rosihin. 2008. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Hasby Ash-Shidieqy. 1972. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Syahidin. 2009. Menelusuri metode dalam Al-Qur’an. Bandung: CV.Alfabeta.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma  islam : interpretasi untuk aksi. Bandung: Mizan.
Supiana dan Karman. 2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Isalamika.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Izzan, Ahmad. 2007. Ulumul Qur’an. Bandung: Tafakur.
Anwar, Rosihin. 2001. Samudera Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.


1 komentar:

  1. Tambahkan tulisan 'link ke www.iaincirebon.ac.id'
    Selamat....teruslah menulis. Tugas ini hanya sebagai pembuka. Semoga kelak, tulisannya semakin baik. Perhatikan sistematika penulisannya.

    BalasHapus